KEKUATAN HUKUM “NIKAH SIRI” DI TINJAU DARI UU PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

33

Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan dalam kajian Hukum Islam maupun Hukum Nasional di Indonesia dapat dilihat dari tiga segi yaitu, segi Hukum, Sosial, dan Ibadah. Pernikahan dalam Islam memiliki syarat dan rukun, yang apabila telah terpenuhi maka hukum pernikahan tersebut menjadi sah. Hal ini berbeda dengan pandangan peraturan pernikahan di Indonesia yang menyatakan bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan pada pejabat yang berwenang, maka pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum.

Hukum di Indonesia mengatur tata cara pernikahan yang sah menurut Agama Islam dan sah menurut Hukum Negara yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:

“Tiap-tiap pernikahan harus dicatat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Ketentuan ini lebih lanjut diperjelas dalam bab 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang intinya: Sebuah pernikahan baru dianggap memiliki kekuatan hukum dihadapan undang-undang jika dilaksanakan menurut aturan agama dan telah dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah. Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa “Agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam maka setiap perkawinan harus dicatat”. Sedangkan berdasarkan konsep Konvensional pernikahan dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Menurut Madhab Syafi’i yang termasuk dalam rukun pernikahan adalah akad (siqah ijab qabul), calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi dan wali. Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan juga menyebutkan bahwa, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya.

  1. Nikah Siri menurut Undang-Undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974

Berdasarkan sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia bahwa Nikah Siri merupakan pernikahan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana dipahami bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, dalam perspektif peraturan perundangundangan, Nikah Siri tergolong pernikahan yang ilegal dan tidak sah. Ada dua persyaratan pokok yang harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif bagi kalangan umat Islam Indonesia yang menjadikan pernikahan mereka sah menurut hukum positif, yaitu:

  1. Pernikahan harus dilakukan menurut hukum Islam, dan
  2. Setiap pernikahan harus dicatat.

Pencatatan pernikahan tersebut dilakukan oleh PPN sesuai Undang-Undang U Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya salah satu dari ketentuan dalam pasal 2 tersebut menyebabkan pernikahan menjadi batal atau setidaknya cacat hukum dan dapat dibatalkan. Akan tetapi kalau ketentuan pasal tersebut masih dipahami sebagai syarat alternatif, maka pernikahan dianggap sah meskipun hanya dilakukan menurut hukum agama dan tidak dicatatkan di KUA.

  1. Nikah Siri menurut KHI

Nikah Siri adalah pernikahan yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang terpenuhi, seperti ijab-kabul, wali dan saksi-saksi. Akan tetapi mereka (suami-istri, wali dan saksi) bersepakat untuk merahasiakan pernikahan ini dari masyarakat. Dalam hal ini, sering pihak lelakilah yang berpesan supaya dua saksi menutup rapat-rapat berita mengenai pernikahan yang terjadi.

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Jumhur ulama memandang pernikahan seperti ini sah akan tetapi hukumnya adalah makruh. Hukumnya sah dan resmi menurut agama karena sudah memenuhi rukun dan syarat pernikahan serta adanya dua saksi sehingga unsur kerahasiaannya hilang. Sebab suatu perkara yang rahasia, jika telah dihadiri oleh dua orang atau lebih, maka tidak lagi disebut dengan rahasia. Adapun sisi kemakruhannya adalah disebabkan adanya perintah Rasulullah saw., untuk melakukan mengumumkan pernikahan kepada masyarakat luas. Hal itu dilakukan untuk menghilangkan unsur yang berpotensial mengundang keragu-raguan serta tuduhan tidak benar (seperti kumpul kebo misalnya) pada keduanya.

Sedangkan kalangan ulama Malikiyyah menilai pernikahan yang seperti ini tidak sah, karena maksud dari perintah untuk menyelenggarakan pernikahan adalah pemberitahuan, dan ini termasuk syarat sahnya pernikahan. Pendapat yang rajih (kuat), nikah ini sah, karena syaratsyarat dan rukunnya telah terpenuhi, walaupun tidak diberitahukan kepada khalayak. Sebab kehadiran wali dan dua saksi telah merubah sifat kerahasiaan menjadi sesuatu yang diketahui oleh umum. Semakin banyak yang mengetahui, maka semakin baik. Oleh karena itu, dimakruhkan merahasiakan pernikahan agar supaya pasangan itu tidak mendapatkan gunjingan dan tuduhan tidak sedap, ataupun persangkaan-persangkaan yang buruk dari orang lain.

Sementara itu dalam pengertian masyarakat, Nikah Siri sering disebut dengan “nikah dibawah tangan” yang lebih mengarah pada pernikahan yang tidak menyertakan petugas pencatat nikah (misalnya KUA) untuk mencatat pernikahan tersebut dalam dokumen negara. apabila terdapat suatu perkawinan yang dilakukaan tidak sesuai prosedur sebagaimana tersebut dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga tidak dapat diterbitkan akta nikah. Perkawinan model seperti ini biasanya muncul berbagai masalah tatkala terjadi bentrokan dengan sebuah kepentingan dalam bentuk pengingkaran terjadinya pernikahan dan tak jarang pula anak yang dilahirkan dalam pernikahan ini juga tidak diakui bahkan merembet pada masalah hak waris.

Lantas bagaimana hukum mengatur pasangan suami istri yang menikah sirih akan tetapi karena sesuatu dan lain hal dikemudian hari menginginkan pernikahan mereka diakui negara dan mendapat pelindungan hukum?

Demikian Informasi Hukum Yang Dapat Kami Sampaikan.

Semoga Bermanfaat. Terima Kasih.